Pemberlakukantarif retribusi terbaru menyesuaikan dengan Peraturan Daerah Nomor 9 tahun 2020 tentang Retribusi Jasa Umum. #publisherstory
Suasana TPA Piyungan, Bantul, DIY pada 2019 lalu. Foto Widi Erha PradanaKepala Pusat Studi Lingkungan Hidup PSLH Universitas Gadjah Mada UGM, Mohammad Pramono Hadi, mengatakan bahwa beban pemerintah dalam penanganan sampah di Jogja saat ini memang masih sangat masyarakat sudah dikenai biaya sampah, namun ternyata jumlahnya belum cukup untuk menangani sampah sampai di tahap sampah yang diwajibkan kepada masyarakat, menurut Pramono hanya cukup untuk membuat rumah orang tersebut bersih dari biaya pengolahan dan pemrosesan sampah tidak pernah menjadi urusan masyarakat. Rata-rata, masyarakat hanya dikenakan biaya antara Rp 30 ribu sampai Rp 50 ribu per bulan, artinya hanya sekitar Rp sampai Rp per hari.“Artinya iuran yang ada itu hanya cukup untuk mengalihkan sampah dari rumah dia menuju depo terdekat. Sementara dari depo terdekat menuju TPA masih jadi beban pemerintah,” kata Pramono Hadi, Kamis 12/5.Penampakan peternakan sapi di Tempat Pemrosesan Akhir TPA Piyungan pada 2019 lalu. Foto Widi Erha Pradana / Pandangan JogjaBelum lagi biaya penanganan sampah di TPA Regional Piyungan, yang berdasarkan teori idealnya membutuhkan biaya Rp 60 ribu per ton, mengingat dibutuhkan biaya untuk tenaga kerja, alat berat, pengurugan tanah, dan sebagainya. Sementara tipping fee yang berlaku saat ini hanya sekitar Rp 25 ribu per ton, sehingga pemerintah masih harus membiayai sekitar Rp 35 ribu per ton.“Ini akan sangat menguras APBD dan anggaran-anggaran yang dimiliki pemerintah, dan ini tidak akan cukup,” itu, dia merekomendasikan kepada pemerintah untuk memberlakukan tarif progresif dalam penanganan sampah ini. Semakin banyak sampah yang dia buang, maka biaya yang harus dia bayar juga lebih besar. Dengan cara itu, masyarakat akan dipaksa untuk membuang sampah sesedikit mungkin, maka dia akan berpikir berulang kali jika akan menghasilkan sampah.“Untuk biaya per kilogramnya ini perlu dihitung lagi dengan tepat,” biayanya penanganannya sudah sesuai, maka pemerintah bisa membuka peluang bagi pihak swasta untuk terlibat dalam pengangkutan sampah. Dengan begitu, pemerintah tidak terbebani lagi dengan urusan pengangkutan sampah ke TPA karena sampai saat ini hal itu juga masih jadi beban bagi pemerintah perlu diwaspadai adalah maraknya masyarakat yang membuang sampah sembarangan karena tidak mau menanggung biaya penanganan sampah. Karena itu, pemerintah juga perlu mengeluarkan payung hukum yang salah satunya berisi sanksi bagi siapapun yang membuang sampah sembarangan.“Jadi perlu ada political will, tentunya sebagai pemangku kebijakan, pemerintah perlu membuat produk hukumnya,” jelas Pramono Hadi.
BebanIPL Apartemen = IPL Apartemen x Luas unit apartemen = Rp 25.000 x 21 = Rp525.000,00. Jadi untuk unit apartemen sederhana dengan luas 21 meter persegi dan IPL sebesar Rp 15.000,00 akan dikenakan beban IPL Apartemen sebesar Rp525.000 per bulan.
Laporan Wartawan Nur Saleha PALU - Barcode dan apliksasi QRIS dari Bank Rakyat Indonesia BRI untuk membayar retribusi sampah di Kota Palu resmi dipakai. Hal tersebut disampaikan oleh Kabid Persampahan Dinas Lingkungan Hidup DLH Kota Palu, Hisyam Baba, Selasa 22/2/2022. ’Alhamdulillah siang ini barcode dengan aplikasi QRIS yang di desain oleh pihak BRI untuk transaksi pembayaran retribusi kebersihan Kota Palu telah selesai dan sudah berhasil dilakukan simulasi pembayaran oleh petugas BRI Palu,’’ jelas Hisyam. Menurut Hisyam, barcode aplikasi QRIS itu akan dipasang di Kantor DLH Kota Palu. Serta dipegang oleh sejumlah driver armada sampah yang berada di masing masing kelurahan. Baca juga Legislator Muharram Nurdin Apresiasi dULD Punya Niat Sehatkan Warga Sulteng Lewat Dance Hisyam mengatakan, bagi masyarakat Kota Palu bisa melakukan pembayaran melalui transaksi non tunia dengan menggunakan berbagai jenis aplikasi seperti BRImo, Shopie, dan Grab. “Masyarakat Kota Palu yang sudah terlayani sampahnya bisa langsung melakukan pembayaran melalui transaksi non tunai dengan menggunakan berbagai jenis aplikasi, BRImo, Shopie, dan Grab,” terangnya. Sementara itu, lanjut Hisyam menyampaikan bagi masyarakat yang belum memiliki aplikasi bisa langsung datang ke kantor DLH Kota Palu. “Bisa datang langsung ke Kantor DLH Kota Palu untuk melakukan pembayaran retribusi kebersihan dan akan diberikan SKRD dan SSRD oleh Petugas Retribusi yang telah kami tunjuk untuk bertugas di ruang pelayanan Kantor DLH Kota Palu,” tuturnya. “Dan khusus untuk pelaku usaha, petugas dari DLH Kota Palu akan memberikan SKRD dan SSRD kemudian para pelaku usaha bisa langsung melakukan transaksi melalui Smart Billing/Virtual Account,” tambahnya. DLH Kota Palu juga menyarankan agar masyarakat melakukan transaksi non tunai dalam melakukan pembayaran retribusi kebersihan. “Untuk menghindari kebocoran atau hal hal yang tidak diinginkan,” tutupnya. Berapa Tarif yang Harus Dibayar Warga? Berdasarkan Peraturan Walikota Perwali Palu Nomor 17 tahun 2021 tentang perubahan tarif restribusi jasa umum, yang saat ini iuran restribusi sampah tergantung dari daya listrik rumah warga. Adapun tarif iuran yaitu warga yang memiliki daya listrik yaitu 450 Va sebesar 10 ribu/bulan, Daya Listrik 900 sampai Va sebesar 35 ribu/bulan, Daya hingga Va sebesar 65 ribu/bulan dan Daya Va atau lebih sebesar 85 ribu/bulan. *
jadiane juga inisiatif ya per bulan ada kasih "tambahan" diluar iuran sampah. nah loh,malah kebiasaan, kira itu hal yang lumrah pula itu tukang smapahnya!! terapkan pembayaran uang sampah berdasarkan berat volume sampah yang dibuang, jangan pukul rata per rumah per bulan. Makin banyak buang sampah, makin mahal 20-07-2016 00:22 . 0. Kutip
Regional Medium Term Development Plan of Bandung City 2014 - 2018 is a basic for development planning in an effort to create Bandung City Clean, Prosperous, Obedient, and Friendly, that is become Bandung City slogan “Bermartabat Bersih Makmur Taat dan Bersahabat”. Based on the slogan "Bermartabat", the cleanliness and solid waste management system is something that must be managed properly so that the development of Bandung to be achieved is the development of environmentally sound. One of the things that become obstacles in the management of solid waste in the city of Bandung is the low public participation in the financing aspects. This is evidenced by the still large subsidy from the APBD of Bandung City, which reached 80% of the total cost required, while the reception solid waste fees from people in Bandung only reached 20% of the total cost of solid waste management. The amount of the subsidy budget for solid waste management that could disrupt the implementation of the development. On the other hand, low income of public acceptance solid waste fees make PD Kebersihan as waste management agency in Bandung City can not provide optimal service and always depend on the subsidies to be granted by the Government of Bandung City. For that we need to analyze the things that lead to low acceptance rate of the city's solid waste fees. The purpose of this study was to determine the variables that influence the value of willingness to pay WTP = willingness to pay and the level of ability to pay ability to pay = ATP. This study uses contingent valuation method CVM with the bidding system games and crosstab analysis to determine the dependence of the value of the public's willingness to pay. Cluster analysis and discriminant analysis was conducted to determine the division of respondents into groups based on the proximity of variable and knowing the differences between groups were formed. To know the characteristics of the community, then distributed 400 questionnaires for data retrieval. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Journal of Regional and City Planning vol. 27, no. 3, pp. 219-235, December 2016 DOI ISSN 0853-9847 print/ 2442-3866 online © 2016 ITB, ASPI dan IAP Analisis Penerimaan Retribusi Sampah oleh Masyarakat dalam Upaya Peningkatan Pelayanan Pengelolaan Persampahan di Kota Bandung Bagian Timur Iwan Susanto0F1 dan Benno Rahardyan1F2 [Diterima 29 Maret 2016; disetujui dalam bentuk akhir 19 September 2016] Abstrak. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah RPJMD 2014-2018 merupakan dasar pada perencanaan pembangunan dalam rangka mewujudkan Kota Bandung yang Bersih Makmur Taat dan Bersahabat, atau yang disingkat Bermartabat. Berdasarkan slogan “Bermartabat” tersebut, maka kebersihan dan sistem pengelolaan persampahan adalah hal yang harus dikelola dengan baik sehingga pembangunan Kota Bandung yang akan dicapai adalah pembangunan yang berwawasan lingkungan. Salah satu hal yang menjadi kendala dalam pengelolaan persampahan di Kota Bandung adalah partisipasi masyarakat yang rendah dalam aspek pembiayaan. Hal tersebut dibuktikan dengan masih besarnya beban subsidi dari Anggaran Pendapatan dan Biaya Daerah APBD Kota Bandung yang mencapai 80% dari total biaya yang dibutuhkan, sementara penerimaan iuran sampah dari masyarakat Kota Bandung hanya mencapai 20% dari total biaya pengelolaan sampah. Besarnya beban subsidi APBD untuk pengelolaan sampah tersebut dapat mengganggu jalannya pelaksanaan pembangunan. Di sisi lain, rendahnya penerimaan iuran sampah dari masyarakat membuat PD Kebersihan selaku lembaga pengelola persampahan di Kota Bandung tidak dapat memberikan pelayanan optimal dan selalu bergantung kepada subsidi yang diberikan oleh Pemerintah Kota Bandung. Untuk itu perlu dilakukan analisis terhadap hal-hal yang menyebabkan rendahnya penerimaan iuran sampah tingkat kota tersebut. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui variabel-variabel apa saja yang mempengaruhi nilai kesediaan membayar willingness to pay = WTP dan tingkat kemampuan membayar ability to pay = ATP. Penelitian ini menggunakan metode contingent valuation methode CVM dengan sistem bidding game tawar menawar dan analisis crosstab untuk mengetahui ketergantungan nilai kesediaan membayar masyarakat. Analisis cluster dan analisis diskriminan dilakukan untuk mengetahui pembagian responden ke dalam kelompok berdasarkan kedekatan variabel serta mengetahui perbedaan antar kelompok yang terbentuk. Untuk mengetahui karakteristik masyarakat, 400 kuesioner dibagikan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai rata-rata WTP responden berada di bawah nilai rata-rata ATP. Hal ini berarti bahwa masyarakat Kota Bandung Bagian Timur mampu untuk membayar iuran sampah kota. Pelayanan pengelolaan persampahan yang tidak memuaskan menjadi penyebab utama rendahnya penerimaan iuran sampah. Kata kunci. ATP, bidding game, cluster, CVM, WTP. [Received 29 March 2016; accepted in final version 19 September 2016] 1 Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan Institut Teknologi Bandung Program Studi Margister Pengelolaan Air Bersih dan Sanitasi, iwan_susant 2 Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan Institut Teknologi Bandung Program Studi Margister Pengelolaan Air Bersih dan Sanitasi, benno Abstract. The Regional Medium Term Development Plan of Bandung Municipality 2014 - 2018 is a basis for development planning in an effort to create Bandung Municipality Clean, Prosperous, Obedient, and Friendly, which becomes the Bandung Municipality slogan “Bermartabat Bersih Makmur Taat dan Bersahabat”. Based on the slogan "Bermartabat", the cleanliness and solid waste management system is something that must be managed properly so that the development of Bandung to be achieved is environmentally sound. One of the obstacles in the management of solid waste in the city of Bandung is the low public participation in the financing aspects. This is evident from the large subsidy from the APBD of Bandung Municipality, which reached 80% of the total cost required, while the reception solid waste fees from people in Bandung only reached 20% of the total cost of solid waste management. The amount of the subsidy budget for solid waste management could disrupt its implementation. On the other hand, due to the low amount of solid waste fees from the PD Kebersihan as the waste management company of Bandung Municipality cannot provide optimal service and always depends on the subsidies to be granted by the Government. Therefore, it is needed to analyze what causes the city’s low solid waste fees collection. The purpose of this study was to determine the variables that influence the value of willingness to pay WTP = willingness to pay and the level of ability to pay ability to pay = ATP. This study uses a contingent valuation method CVM with a bidding games system and crosstab analysis to determine the dependence of the value of the public's willingness to pay. Cluster analysis and discriminant analysis were conducted to determine the division of respondents into groups based on the proximity of variables and to know the differences between groups. To know the characteristics of the community, 400 questionnaires were distributed for data retrieval. The research showed that the average value of WTP from the respondents was below the average ATP value. This means that people in Eastern Bandung Municipality are able to pay solid waste fees. Low solid waste fees collection is primarily caused by unsatisfactory solid waste management service. Keywords. ATP, bidding game, cluster, CVM, WTP. Pendahuluan Perencanaan pembangunan daerah adalah suatu proses penyusunan tahapan-tahapan kegiatan yang melibatkan berbagai unsur pemangku kepentingan didalamnya, guna pemanfaatan dan pengalokasian sumber daya yang ada dalam rangka meningkatkan kesejahteraan sosial dalam suatu lingkungan wilayah/daerah dalam jangka waktu tertentu yang meliputi Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah RPJPD, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah RPJMD, dan Rencana Kerja Pembangunan Daerah RKPD. Sebagai perwujudan amanat tersebut, Pemerintah Kota Bandung telah menetapkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah RPJPD Kota Bandung 2005-2025 berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 08 Tahun 2008. Salah satu substansi strategis dalam RPJPD tersebut adalah menetapkan Visi Daerah Mewujudkan Kota Bandung Sebagai Kota Bermartabat RPJMD Kota Bandung 2014-2018, 2014. Sistem pengelolaan persampahan kota merupakan salah satu aspek di rencana pengembangan prasarana pengelolaan lingkungan kota sesuai yang tertuang dalam rencana tata ruang wilayah Kota Bandung. Sehingga keberhasilan pembangunan Kota Bandung tidak dapat terlepas dari sistem pengelolaan sampah yang dilakukan. Dasar sistem pengelolaan sampah suatu kawasan adalah tata cara teknik operasional pengelolaan sampah di perkotaan atau permukiman SNI 19-2454-2002 dan SNI-T-12-1991-03 serta standar pengelolaan sampah SK-SNI T-13-1990-F. Sehubungan dengan hal tersebut maka perlu dilakukan kajian terhadap kendala dalam pengelolaan persampahan. Kajian tersebut dilakukan terhadap seluruh aspek yang terkait dalam Pengelolaan Persampahan di Kota Bandung sistem pengelolaan persampahan. Terdapat 5 lima aspek utama dalam pengelolaan persampahan yaitu 1 Teknik operasional, 2 Kelembagaan, 3 Pembiayaan, 4 Peraturan, dan 5 Peran serta masyarakat Damanhunri dkk, 2010. Pada penelitian ini akan mengkaji aspek pembiayaan dalam pengelolaan persampahan Kota Bandung. Kesediaan dan kemampuan membayar iuran sampah oleh masyarakat perlu dianalisa, sehingga dapat diketahui variabel yang mempengaruhi serta diperoleh penyelesaianya Zakaria, 2013. Pertumbuhan penduduk yang cepat, urbanisasi, industrialisasi dan pembangunan ekonomi telah mengakibatkan timbulan besar limbah padat di daerah pemukiman di seluruh dunia terutama di kota-kota di negara berkembang Afroz, 2010. Di negara-negara berkembang, sampah kota tidak dikelola dengan baik karena pemerintah kota tidak dapat mengatasi laju percepatan produksi sampah Ahmadou dkk, 2010. Memperluas kegiatan ekonomi dan meningkatnya populasi yang menghasilkan limbah padat yang berlebihan sehingga dibutuhkan biaya yang meningkat pula Rahim dkk, 2012. Faktor pembiayaan merupakan salah satu faktor utama dalam sistem pengelolaan sampah di suatu kawasan. Aspek pembiayaan merupakan sumber daya penggerak agar roda sistem pengelolaan persampahan di kota tersebut dapat bergerak dengan lancar Damanhunri dkk, 2010. Sumber pembiayaan pengelolaan sampah di Kota Bandung bersumber dari iuran jasa pelayanan persampahan dari masyarakat dan APBD dari Pemerintah Kota Bandung. Untuk mengurangi beban APBD Kota Bandung dan menuju “self finance”, maka partisipasi masyarakat terhadap kesediaan membayar iuran sampah kota perlu ditingkatkan Hartono, 2006. Di Kota Bandung, sistem pengumpulan sampah dari sumber menuju Tempat Pembuangan Sementara TPS terdekat dilakukan oleh petugas sampah tingkat RT/RW dan masyarakat membayar jasa petugas sampah tersebut. Sementara pengelolaan sampah di TPS merupakan tugas dari PD Kebersihan. Sehingga masyarakat tidak secara langsung menerima pelayanan dari PD Kebersihan Bappeda Kota Bandung, 2014. Sampah yang terkumpul di TPS oleh PD Kebersihan dilakukan pengelolaan seperti pengomposan, pengepresan di stasiun peralihan antara, dan mayoritas diangkut menuju ke Tempat Pembuangan Akhir TPA. Selain itu PD Kebersihan juga melakukan pelayanan umum yaitu penyapuan dibeberapa jalan utama dan taman kota. Berdasarkan kegiatan pengelolaan yang dilakukan tersebut, PD Kebersihan memerlukan biaya untuk melakukan pelayanan pengelolaan sampah di Kota Bandung. Biaya tersebut bersumber dari iuran sampah kota atau retribusi sampah dan subsidi dari APBD Kota Bandung. Berdasarkan Peraturan Wali Kota Bandung Nomor 316 Tahun 2013, bahwa setiap orang yang menggunakan dan menerima manfaat jasa pengelolaan sampah wajib membayar jasa pengelolaan sampah. Kondisi ideal dalam pembiayaan terhadap pengelolaan sampah adalah 80% bersumber dari partisipasi masyarakat dan 20% dari APBD. Kondisi di lapangan menunjukan kesadaran pembayaran iuran jasa pengelolaan sampah Kota Bandung sangat rendah. Hal ini dapat diketahui dari persentase pembiayaan, yaitu 80% berasal dari APBD dan 20% dari iuran masyarakat Bappeda Kota Bandung, 2014. Untuk mengurangi beban APBD maka perlu mencari alternatif pembiayaan dari masyarakat, sehingga perlu dilakukan analisa kesediaan dan kemampuan membayar iuran pengelolaan sampah Roy, 2013. Wilayah studi pada penelitian ini adalah di Kota Bandung bagian timur yang terdiri dari 10 kecamatan. Alasan pemilihan Kota Bandung bagian timur adalah wilayah timur Kota Bandung merupakan daerah yang paling rendah penerimaan iuran sampah kota walaupun luas wilayah paling besar dan jumlah kecamatan paling banyak PD Kebersihan, 2013. Lokasi penelitian yaitu Kota Bandung bagian timur sesuai dengan Gambar 1. Gambar 1. Peta Kota Bandung Timur sebagai Lokasi Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat kesediaan dan kemampuan masyarakat dalam membayar iuran sampah tingkat kota serta variabel apa saja yang mempengaruhi kesediaan membayar masyarakat tersebut. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai acuan dalam upaya peningkatan penerimaan iuran sampah tingkat kota, sehingga beban APBD untuk pengelolaan sampah dapat berkurang serta dapat diperuntukan dalam pembangunan Kota Bandung di sektor lain. Metode Penelitian Metode pendekatan yang digunakan adalah penilaian kontingen contingent valuation methode CVM yaitu salah satu di antara banyak teknik yang telah dikembangkan oleh para ekonom untuk menetapkan harga untuk barang dan jasa lingkungan. Metode CVM adalah metode survei yang digunakan untuk memperoleh penilaian konsumen terhadap barang dan jasa tidak dijual di pasar, dengan menunjukkan kesediaan mereka untuk membayar Sizya, 2015. Metode ini telah secara luas digunakan dalam penilaian sumber daya non-pasar seperti rekreasi, satwa liar dan kualitas lingkungan. Teknik CVM yang dipilih adalah teknik bidding games. Hasil dari teknik bidding games tersebut akan diperoleh tingkat WTP masyarakat. Teknik bidding games yang digunakan adalah dengan menanyakan kepada responden sejumlah uang sebagai starting point, dimana nilai starting point yang ditanyakan adalah batas atas pembayaran yang apabila seluruh wajib bayar jasa iuran sampah kota membayar, maka 80% pembiayaan akan berasal dari masyarakat dan sisanya 20% berasal dari APBD. Pengambilan data di wilayah studi, dilakukan dengan stratified random sampling sesuai kategori pelanggan. Data diambil dari tiap kategori wajib bayar dan tiap kecamatan. Jumlah sampel yang diambil berdasarkan rumus Slovin, sesuai dengan Persamaan 1 Sugiono, 2006. n = Persamaan 1 Dimana, n jumlah sampel; N jumlah populasi; e tingkat kesalahan. Pengelolaan Persampahan di Kota Bandung Dengan wajib bayar/pelanggan yang ada di Kota Bandung bagian timur dan tingkat kesalahan e = 5%, melalui Persamaan 1 diperoleh jumlah sampel adalah 400 sampel. Responden terpilih kemudian akan dibagikan kuesioner sehingga akan diperoleh data yang akan diolah dan dianalisa. Kuesioner dibagi berdasarkan jumlah tiap kategori wajib bayar dan tiap kecamatan di wilayah studi. Struktur kuesioner disusun berdasarkan studi pendahuluan, sehingga parameter utama terhadap variabel yang mempengaruhi kesediaan dan kemampuan membayar dimasukan dalam kuesioner. Struktur kuesioner terdiri dari 6 enam bagian. Bagian pertama adalah berisi pertanyaan terkait atribut responden, bagian kedua berisi tentang perilaku dan penanganan sampah yang dilakukan responden, bagian ketiga berisi tentang tingkat kepuasan terhadap pelayanan, bagian keempat merupakan pertanyaan terkait iuran dan sistem pembayaran serta kesediaan membayar dalam layanan eksisting, bagian kelima merupakan tanggapan responden terhadap upaya peningkatan layanan, dan bagian keenam berisi tentang kemampuan membayar iuran sampah. Nilai WTP yang dianalisa adalah nilai WTP eksisting dan nilai WTP improvement. Nilai WTP maksimum adalah nilai kesediaan rata-rata yang bersedia dibayarkan untuk iuran jasa pelayanan persampahan kota. Nilai WTP maksimun diambil dari rata-rata tiap kecamatan dan tiap kriteria wajib bayar. Rata-rata mean nilai WTP diperoleh dengan menggunakan statistik deskriptif, dengan rumus sesuai dengan Persamaan 2 Trimansyah dkk, 2012. 𝑛Persamaan 2 Dimana, MWTP rata-rata WTP; n ukuran sampel; WTPi nilai WTP maksimum responden. Perhitungan nilai rata-rata ATP juga dilakukan dengan menggunakan statistik deskriptif dan menggunakan Persamaan 2. Nilai rata-rata ATP akan dibandingkan terhadap rata-rata penghasilan responden. Sehingga akan diketahui persentase iuran sampah yang mampu dibayarkan oleh reponden. Nilai rata-rata penghasilan diperoleh dengan menggunakan rumus rata-rata data kelompok Trimansyah dkk, 2012. Untuk mengetahui variabel yang mempengaruhi terhadap nilai WTP maka dilakukan analisis crosstab dan analisis Kruscal Wallis terhadap atribut responden yang terdiri dari usia, jenis kelamin, penghasilan, pengeluaran, dan jarak rumah terhadap TPS sebagai variabel bebas dengan nilai WTP sebagai variabel terikat. Uji crosstab akan menganalisa nilai coeffisient contigency hubungan antara varibel bebas dengan nilai WTP Santosa, 2014. Uji Kruscal Wallis akan menganalisa nilai signifikasi, apabila nilai signifikansi Iuran Sampah Kota Terbayar Responden dengan nilai WTP = Iuran Sampah Kota Terbayar Responden dengan nilai WTP iuran Pengelolaan Persampahan di Kota Bandung Pada kondisi layanan eksisting, nilai mean WTP adalah dan kategori wajib bayar yang mempunyai nilai mean WTP paling tinggi adalah kategori non komersial. Sementara kecamatan yang mempunyai nilai mean WTP eksisting paling tinggi adalah Kecamatan Cinambo. Ketika peningkatan layanan dilakukan, nilai mean WTP mengalami peningkatan yaitu Kategori wajib non komersial masih merupakan kategori dengan nilai WTP yang paling tinggi. Hubungan Antar Atribut Responden dengan WTP Eksisting Hubungan antara nilai WTP yang diusulkan dan berbagai karakteristik sosial ekonomi rumah tangga, serta di antara variabel-variabel ini demografis sosial perlu dilakukan analisa Roy, 2013. Dari tujuh atribut responden yang dianalisa, terdapat 4 atribut yang mempunyai hubungan erat dan signifikan terhadap nilai WTP yaitu pendidikan 0,570, penghasilan keluarga 0,590, pengeluaran keluarga 0,614, dan jarak terhadap TPS 0,661. Hubungan Kelengkapan TPS dengan Nilai WTP Berdasarkan hasil survei, terdapat 4 tipe TPS yaitu Tipe 1, Tipe 2, Tipe 3, dan Tipe 4. Hasil analisa menunjukan bahwa nilai WTP responden terus meningkat apabila kelengkapan TPS bertambah, sesuai dengan Gambar 11. Gambar 11. Grafik nilai rata-rata WTP tiap tipe TPS Analisis Cluster Willingness To Pay Pengelompokan responden dilakukan berdasarkan kedekatan nilai WTP dalam kondisi layanan eksisting dan layanan improvement pada tiap kategori wajib bayar yaitu kategori permukiman, Gambar 12. Hasil pemetaan analisis cluster kategori perumahan pada layanan eksisting Rp- Rp5,000 Rp10,000 Rp15,000 Rp20,000TPS Tipe 1 TPS Tipe 2 TPS Tipe 3 TPS Tipe 4Nilai WTP /Bulan Tipe TPS 0,5% 6,2% 27,6% 0,5% 4,3% 1,0% 1,4% 1,4% 28,1% 5,7% 1,4% 4,8% 16,2% 0,5% 0,5% 00%05%10%15%20%25%30%2000 3000 5000 6000 7000 7500 8000 9000 10000 12000 12500 13000 15000 20000 25000Persentase % NIlai WTP Eksisting Rp/Bulan WTP Tinggi Klaster 3 WTP Rendah Klaster 1 WTP Sedang Klaster 2 Mean Klaster 3 Tipe 1 hanya kontainer/wadah Tipe 2 wadah dan 1 kelengkapan Tipe 3 wadah dan 2 kelengkapan Tipe 4 wadah dan 3 kelengkapan kelengkapan wadah/kontainer, tembok pembatas, pintu, atap, dan kelengkapan TPS lainnya Mean Klaster 1 Rp Mean Klaster 2 Rp. kategori komersial dan non komersial, serta kategori pedagang sektor informal PSI dan angkutan umum AU. Hasil analisis cluster akan mengelompokkan responden ke dalam kelompok WTP rendah, sedang, atau tinggi. Sehingga dapat diperoleh informasi range dan rata-rata WTP tiap kategori. Kategori permukiman dalam layanan eksisting diperoleh pemetaan nilai WTP sesuai dengan Gambar 12. Hasil pengelompokan analisis cluster, rentang nilai WTP, serta rata-rata nilai WTP pada tiap kategori dan kondisi layanan adalah sesuai dengan Tabel 7. Tabel 7. Karakteristik nilai WTP tiap kelompok Kategori Komersial dan Non Komersial1. WTP Rendah 12 12 Analisis Diskriminan Willingness To Pay Berdasarkan hasil identifikasi pembagian kelompok tiap responden dari analisis cluster, maka dapat disusun model diskriminan untuk mencari pembeda antar group pada tiap kategori. Variabel-variabel yang digunakan adalah variabel yang secara signifikan menjadi pembeda antara kelompok responden dengan WTP rendah, WTP sedang, dan WTP tinggi. Persamaan fungsi diskriminan yang terbentuk adalah sesuai Tabel 8. Tabel 8. Karakteristik nilai WTP tiap kelompok 1= -4,243 + 0,286 x Pendidikan + 0,132 Penghasilan + 0,057 x Pengeluaran + 1,412 x Jarak TPS Z2 = -1,136 + 1,106 x Pendidikan - 0,395 x Penghasilan + 0,037 x Pengeluaran - 0,290 x Jarak TPS 1= -3,495 + 0,164 x Pendidikan + 0,158 x Penghasilan + 0,172 x Pengeluaran + 0,873 x Jarak TPS + 0,12 x Jumlah Sampah Z2= -3,495 + 0,203 x Pendidikan - 0,554 x Penghasilan + 0,621 x Pengeluaran - 0,302 x Jarak TPS + 1,082 x Jumlah Sampah daKomersial 1= -4,641 + 0,648 x Pendidikan + 0,110 x Penghasilan + 0,133 x Pengeluaran + 0,688 x Jarak TPS - 0,038 x Jumlah Sampah Z2 = + 0,361 x Pendidikan - 0,500 x Penghasilan + 0,486 x Pengeluaran - 0,939 x Jarak TPS - 0,576 x Jumlah Sampah 1= -3,826 + 0,803 x Pendidikan + 0,107 x Penghasilan + 0,149 x Pengeluaran Z2 = 0,589 - 0,878 x Pendidikan + 0,017 x Penghasilan + 0,360 x Pengeluaran 1= -3,861 + 0,724 x Pendidikan + 1,241 x Jarak Z2 = -2,667 - 0,889 x Pendidikan + 1,778 x 1= -4,111 + 0,924 x Pendidikan + 1,114 x Jarak Z2 = -2,475 + 1,795 x Pendidikan - 1,013 x Pengelolaan Persampahan di Kota Bandung Kemampuan Membayar atau Ability to Pay ATP Iuran Sampah Kota Nilai ATP untuk pengelolaan sampah, berada pada angka sampai dengan per bulan. Nilai mean ATP responden, sesuai analisa deskriptif adalah Pada layanan eksisting, mayoritas 69% mempunyai nilai ATP lebih besar dari nilai WTP. Sehingga termasuk dalam kategori choiced riders, artinya penghasilan relatif tinggi, tapi nilai utilitas terhadap jasa tersebut relatif rendah. Masyarakat masih menyimpan dana untuk iuran sampah dan belum bersedia membayarkan karena pelayanan pengelolaan persampahan dirasa belum maksimal. Ketika pelayanan persampahan ditingkatkan, mayoritas responden 68,25% mempunyai nilai ATP = Nilai WTP improvement. Artinya pada kondisi upaya peningkatan layanan, responden bersedia mengeluarkan seluruh kemampuan iuran. Distribusi perbandingan antara nilai ATP dengan nilai WTP adalah sesuai Tabel 9. Tabel 9. Perbandingan nilai ATP dengan WTP eksisting dan WTP improvement Responden dengan ATP > WTP 69% 27,50% Responden dengan ATP = WTP Responden dengan ATP Central Antapani sub-district is one of the regions in Bandung City that has a reduce reuse recycle waste processing facility, namely TPS 3R Cibatu. There are still problems that cause solid waste management did not run optimally. The manager of TPS 3R Cibatu confirmed that there would be an optimization attempt. But, the limited funds from previous solid waste retribution became a problem to accelerate that solid waste management optimization. The research’s purpose is to analyze Willingness to Pay WTP from the community of Central Antapani sub-district in the optimization attempt of TPS 3R Cibatu, because there has not been researched that done the study of the amount of the community’s WTP. The method used is the Contingent Valuation Method CVM and bidding game technique. The number of respondents that being interviewed is 160 householders, with the details of 135 householders who are willing to pay and 25 householders who are not. Based on the interview result, obtained the average WTP of Rp. and the total WTP of Rp. Based on the statistical analysis, known that the factors that affected the WTP value’s respondents are educational level and solid waste retribution fund.
Iamengemukakan bahwa sejumlah kelurahan menarik iuranRp10 ribu hingga Rp15 ribu per bulan dari warga untuk mendukung pengoperasian becak motor pengangkut sampah. Namun, ia melanjutkan, partisipasi warga dalam membayar iuran pengelolaan sampah rendah dan sebagian warga masih memilih membuang sampah di pinggir jalan.
com-Ilustrasi Tempat Pembuangan Sampah Foto ShutterstockPermasalahan sampah adalah suatu permasalahan yang telah berlangsung sejak lama. Cepatnya pertumbuhan penduduk, urbanisasi, industrialisasi, dan pembangunan ekonomi mengakibatkan timbulnya banyak limbah padat di daerah-daerah pemukiman di seluruh dunia terutama kota-kota yang ada di negara berkembang, termasuk Indonesia. Di perkotaan, sampah sering kali tidak dikelola dengan baik karena ketidakmampuan pemerintah kota terkait untuk mengikuti laju percepatan produksi sampahKelebihan limbah padat yang dihasilkan dari perluasan kegiatan ekonomi dan populasi yang meningkat menyebabkan meningkatnya pembiayaan yang diperlukan untuk menangani sampah yang ada. Aspek pembiayaan tersebut menjadi penggerak agar sistem pengelolaan sampah di wilayah tersebut dapat terus bergerak tanpa hambatan. Selain itu, dampak negatif dari kemunculan tempat pembuangan menimbulkan suatu biaya sosial. Biaya sosial menjadikan perlunya instrumen ekonomi pada kebijakan publik melalui cara yang menjanjikan untuk menggeser suatu satu konsep yang telah dikenal untuk dapat menginternalisasi dampak negatif seperti kebisingan, bau tidak sedap yang ditimbulkan, polusi air tanah, dan emisi dari keberadaan tempat pembuangan adalah landfill taxation atau pajak atas tempat pembuangan. Landfill tax adalah pajak yang dikenakan pada perusahaan, otoritas daerah, atau pihak lainnya yang memiliki kepentingan menimbun sampah pada tempat pembuangan akhir. Penggunaan konsep perpajakan pada tempat pembuangan dapat memberikan pencapaian tujuan untuk meningkatkan keuangan dan melindungi lingkungan dengan di saat yang sama tidak menimbulkan pembiayaan baru pada bisnis begitu, implementasi landfill tax di berbagai negara memiliki banyak perbedaan dari sisi tarif, bentuk, ataupun dampak dan keberhasilannya. Salah satu bentuk landfill tax di Indonesia yang berlaku di DKI Jakarta adalah melalui retribusi daerah. Retribusi itu sendiri adalah pemungutan yang dilakukan negara sehubungan dengan penggunaan jasa-jasa yang disediakan oleh negara. Pada konsepnya, retribusi memiliki perbedaan dengan pajak secara umum di mana pada retribusi pemungutan dilakukan hanya pada penggunaan jasa-jasa yang disediakan oleh negara sehingga pengguna akan mendapatkan balas jasa secara langsung atas pembayaran yang mengenai retribusi daerah diatur pada tingkat Undang-Undang dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009. Pada implementasinya, di DKI Jakarta peraturan ini dilaksanakan melalui Perda DKI Jakarta No. 1 Tahun 2015 yang memberikan ketentuan mengenai pemungutan retribusi pelayanan persampahan/kebersihan. Pada lampiran II poin F Perda tersebut dijabarkan mengenai tarif distribusi pelayanan kebersihan yang meliputi• Pengangkutan sampah perumahan/tempat tinggal tarif 0 rupiah• Pengangkutan sampah toko, warung makan, apotek, bengkel, bioskop, tempat hiburan lainnya, penjahit/konveksi, salon barbershop, panti pijat, bola sodok, binatu, dan lain-lain;1. Klasifikasi kecil volume sampah sampai dengan 0,75 meter kubik/bulan tarif rupiah/bulan;2. Klasifikasi besar volume sampah lebih dari 0,76 meter kubik/bulan tarif rupiah/bulan;• Pengangkutan sampah minimum 2,5 m kubik dari Rp kubik lokasi industri, pusat pertokoan/ plaza, perkantoran, pasar swalayan, motel, hotel, Penginapan, taman hiburan/ rekreasi, rumah makan/restoran, perbengkelan, apartemen tarif kubik;• Pengangkutan sampah non bahan berbahaya beracun dari rumah sakit, poliklinik dan laboratorium minimum 1,00 meter kubik tarif kubik;• Penyediaan sampah dari pasar PD Pasar Jaya dan lokasi pedagang tarif kubik; dan• Penyediaan tempat pembuangan/pemusnahan akhir sampah TPA sampah tarif tarif tersebut pada dasarnya telah mengakomodasi sebagian besar proses pengelolaan sampah melalui fasilitas tempat pembuangan dan berbagai dampak negatif yang ditimbulkannya. Meski begitu, dalam Perda tersebut belum seluruh proses pengangkutan dikenakan tarif retribusi seperti pengangkutan sampah perumahan/rumah tinggal. Padahal, dari data di TPA Bantargebang dari volume sampah sebanyak 5,264 ton per hari pada 2012 yang meningkat menjadi ton pada Maret 2016, sebanyak 53% dari jumlah tersebut merupakan sampah yang berasal dari aktivitas rumah tangga 1.Sejumlah pekerja mencari barang untuk didaur ulang di tempat pembuangan terbesar di Jakarta, Bantar Gebang, Bekasi. Foto AFP/Bay IsmoyoPelaksana Tugas Kepala Dinas Lingkungan Hidup DLH DKI Jakarta, Syaripudin, menyatakan bahwa jumlah sampah di Jakarta yang dikirim ke Tempat Pengolahan Sampah Terpadu TPST Bantar Gebang juga terus meningkat setiap tahunnya. Hal tersebut terlihat sebagaimana tergambarkan dalam tabel berikutJumlah sampah di Jakarta yang dikirim ke TPST Bantar Gebang dari tahun 2014-2020. Sumber Antara News, diolah kembali oleh penulisJumlah sampah yang menunjukkan tren yang meningkat tersebut menunjukkan bahwa berbagai upaya yang dilakukan untuk menekan jumlah sampah di DKI Jakarta, seperti salah satunya melalui penggunaan konsep pajak berupa retribusi daerah, masih belum tercapai. Di sisi lain, dari segi sebagai sumber pembiayaan, pengenaan retribusi atas pelayanan persampahan di DKI Jakarta menunjukkan hasil yang cukup positif. Pada sebuah kasus di tahun 2016, Dinas Kebersihan DKI Jakarta menyatakan bahwa retribusi pengangkutan sampah dari kawasan komersial meningkat hingga Rp1,2 miliar per Mei 2016 karena adanya penertiban. Angka tersebut jauh meningkat dari yang semula hanya mencapai Rp90 juta pada periode Januari Kepala Dinas Kebersihan DKI Jakarta Ali Maulana Hakim, menyatakan bahwa selama ini terjadi penyimpangan dan subsidi terlampau besar setiap bulannya. Adapun upaya penertiban dan pengawasan tersebut dilakukan karena pengguna kawasan komersial seperti perusahaan, perkantoran, perhotelan, pusat perbelanjaan, dan restoran didapati membuang sampah liar ke tempat pembuangan sementara Dinas Kebersihan tanpa membayar retribusi atau mendapat subsidi. Padahal subsidi tersebut tidak sepatutnya diberikan sebagaimana diatur dalam peraturan kawasan komersial karena penggunanya merupakan dari golongan yang mampu 2.Walaupun kawasan komersial bukanlah penyumbang sampah tertinggi bagi total sampah di DKI Jakarta 47%, jumlah tersebut dari aspek penerimaan akan tetap memberikan pengaruh yang signifikan. Kasus tersebut memberikan gambaran bahwa dari segi penerimaan dan pembiayaan, pengenaan retribusi pelayanan sampah memiliki peluang yang sangat baik untuk menjadi salah satu sumber yang dapat dimanfaatkan. Dengan syarat, pelaksanaan dan operasional serta administrasi dari retribusi tersebut memang dengan baik dilakukan sehingga tidak ada penyimpangan di dalamnya. Apalagi sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, jumlah sampah di DKI Jakarta terus meningkat setiap tahunnya, sehingga bukan tidak mungkin apabila semakin baik administrasi dan implementasinya, retribusi terhadap pelayanan sampah ini akan menjadi sumber pembiayaan yang signifikan bagi Pemerintah DKI landfill tax yang dapat menjadi suatu upaya untuk mewujudkan beberapa tujuan dari sektor penerimaan dan kelestarian lingkungan secara bersamaan, nyatanya belum dapat diwujudkan di DKI Jakarta melalui retribusi daerah terhadap pelayanan persampahan. Hal ini terjadi karena terdapat beberapa tantangan dalam implementasinya Pertama, pengenaan tarif retribusi daerah atas pelayanan persampahan di DKI Jakarta belum dikenakan kepada seluruh produsen dan konsumen yang sama-sama memproduksi sampah. Dari tarif yang berlaku saat ini terlihat bahwa pada tahapan pengangkutan sampah, tidak dikenakan tarif terhadap pengangkutan sampah dari perumahan/tempat tinggal. Padahal jumlah sampah yang ada di DKI Jakarta justru didominasi oleh sampah rumah tangga yang timbul dari kawasan perumahan/tempat tinggal. Hal ini tentunya tidak akan memberikan efek perubahan perilaku kepada para konsumen sehingga ke depannya tidak akan terjadi upaya pengurangan sampah dari sisi subjek pajak itu adanya perbedaan dari tarif retribusi di tiap daerah akan mendorong individu untuk memilih daerah yang memiliki tarif lebih rendah. Terutama, bagi produsen yang memiliki industri dengan hasil buangan sampah yang banyak. Bukan tidak mungkin melalui skema perhitungan tertentu, akan lebih menguntungkan dalam jangka panjang apabila pabrik atau lokasi sumber sampah yang ada didirikan di luar kawasan DKI Jakarta. Sementara itu, wilayah Jakarta merupakan tempat akumulasi sampah-sampah dari daerah lain di sekitarnya seperti Jabodetabek Dinas Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta, 2019. Hal ini tentunya akan merugikan pemerintah DKI Jakarta karena dari sisi pembiayaan untuk operasional pengelolaan sampah dan atas eksternalitas biaya sosial yang ditimbulkan sampah-sampah tersebut tidak ada timbal balik atau pertanggungjawaban yang diberikannya secara langsung kepada Pemerintah DKI terdapat tantangan dari sisi operasional pengelolaan sampah dan retribusi sampah serta administrasinya di level pemerintah daerah itu sendiri. Hal ini berkaca dari kasus yang terjadi pada tahun 2016 di mana terjadi penyimpangan yang menyebabkan banyaknya potensi retribusi pajak yang tidak ditunaikan kewajibannya oleh pihak yang seharusnya dikenakan. Tantangan ini utamanya bersumber dari sumber daya yang mengimplementasikan peraturan di mana di dalamnya dibutuhkan pengawasan ekstra untuk memastikan terjadinya kepatuhan dari sisi wajib pajak. Apalagi bentuk pengenaan landfill tax yang diatur di DKI Jakarta adalah retribusi daerah semata sehingga apabila tidak dilaksanakan kewajiban atas retribusinya, pihak pengguna layanan tersebut akan mendapatkan manfaat secara cuma-cuma tanpa adanya insentif untuk mengubah perilaku yang menimbulkan eksternalitas negatif terhadap pengenaan landfill tax saja belum terbukti dapat mengurangi volume sampah yang dihasilkan oleh beberapa negara yang memberlakukannya 3. Apalagi dalam kasus di DKI Jakarta di mana skema ”landfill tax” yang ada dikenakan melalui retribusi daerah yang tentunya berbeda dengan pajak. Terlepas dari persamaan di antara kedua hal tersebut, pengenaan pajak landfill tax yang diwajibkan dan memaksa tersebut dan dilaksanakan di beberapa negara maju saja belum dapat secara optimal mengurangi dan menekan volume sampah yang dihasilkan masyarakat. Apalagi di Indonesia sebagai negara berkembang, khususnya di DKI Jakarta dengan keberagaman masyarakatnya.
Besaran iuran Jaminan Pensiun sebesar 3 persen akan ditinjau per-3 tahun sehingga terdapat kemungkinan akan lebih besar daripada saat ini. Dirut BPJS Ketenagakerjaan Elvyn G Masassya di Pemaparan Kinerja BPJS Ketenagakerjaan di Bandung, mengatakan peninjauan tersebut sesuai dengan amanat peraturan perundangan. Besaran iuran Jaminan Pensiun (JP) saat ini (3 persen) merupakan hasil
- Produksi sampah terus bertambah dan angkanya membuat tercengang. Di Indonesia angka sampah mencapai ton per hari. Untuk di Jakarta saja, angka sampah per hari sudah mencapai ton atau dalam dua hari tumpukannya setara dengan Candi Borobudur. Berbagai upaya pengendalian dan pengelolaan sampah disampaikan banyak pihak. Yang terbaru adalah usulan memperbesar iuran sampah. Iuran sampah yang terlalu kecil membuat petugas tidak bisa mengelola sampah dengan maksimal. Tak jarang sampah di buang ke sungai sebab membawanya ke lokasi penampungan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Founder Waste4Change, M. Bijaksana Junerosano menuturkan, saat ini iuran sampah masih berlaku rata pada setiap warga dalam area tertentu. Padahal, jumlah sampah yang dibuang berbeda-beda. Ia menyebut beberapa negara yang sudah menerapkan sistem retribusi adil, misalnya Korea dan Taiwan. Retribusi yang adil diharapkan bisa mengubah perilaku masyarakat dalam membuang sampah. Baca juga Walhi Minta Pemrov DKI Segera Terapkan Peraturan Pengurangan Sampah Plastik "Retribusi terlalu murah dan tidak adil. Jadi harus dibuat lebih adil. Siapa menghasilkan sampah banyak bayar banyak, yang menghasilkan sampah sedikit bayar sedikit," kata Sano ketika ditemui di kawasan Blok M beberapa waktu lalu. Riset internal Waste4Change menaksir iuran sampah rumah tangga jika disamaratakan idealnya berkisar Rp 110 ribu untuk setiap rumah. Namun, ia menilai perlu ada mekanisme keadilan. "Bayangkan kalau kita bilang Rp 110 ribu ke ibu-ibu rumah tangga responsnya pasti menilai mahal. Tapi kalau bilang misalnya, setiap satu ember Rp kalau nyampah banyak Rp dan seterusnya, pasti secara tidak langsung mengurangi buang sampahnya," kata dia. Aturan mengenai retribusi atau standar biaya pengelolaan sampah sedang dibahas oleh pemerintah.
Kebutuhanlain, membersihkan sampah di sepanjang garis pantai. Tenaga kebersihannya 3-4 orang dengan upah Rp 90 ribu per orang per hari. Pembersihan pantai tersebut berlangsung enam bulan. Untuk meringankan beban pengeluaran, para anggota pokdarwis pun ikut turun membersihkan sampah.
Public Services Buat kebersihan kota makassar kok it mobil pengangkut sampai hrus dibayar empat ribu/bln per KK Senin, 13 Januari 2014 1806 TRIBUN TIMUR/SANOVRA JRilustrasi Ada Iuaran Sampah Perbulan di Karuwisi Makassar Tanya Buat kebersihan kota makassar kok it mobil pengangkut sampai hrus dibayar empat ribu/bln per KK tepatxa di karuwisi jlan. kerajinan dn sejiwa +6282187077xxx Jawab Terkait dengan adanya laporan warga melalui Publik Services Tribun, kami sampaikan itu wajib dibayar karena sudah diatur dalam Perda tahun 2011 bahwa satu rumah wajib membayar iuran angkutan sampah perbulannya untuk dimasukkan di kas negara. Tidak hanya itu, kami jelaskan kepada warga Karuwisi khususnya pelapor, sebenarnya uang Rp 4 ribu itu sangat sedikit karena setahu saya iuran pengankutan sampah itu harus dibayar Rp 5 ribu perbulannya, kecuali di dalam kompleks perumahan elite, itu dikenakan biaya Rp per bulannya. * * Kadis Pertamanan dan Kebersihan Pemkot Makassar, Muhammad Kasim
. 191 418 95 275 395 237 124 283
iuran sampah per bulan